CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, 01 Februari 2009

yang benar dan yang salah

Di kelas American Government, kami mendapatkan tugas diskusi kelompok. Bersama Matt, Nick, dan Torie, saya membahas subtema yang berjudul “Apa yang membuat sebagian pemeluk Islam menjadi teroris?”. Dalam diskusi yang singkat itu, sebagai satu-satunya Muslim, saya mencoba memberi sedikit pandangan dari kaca mata Islam, bahwa apa yang disebut jihad adalah sebuah perlawanan yang bersifat defensif. Dan “teroris” adalah orang-orang yang hanya mengambil sisi-sisi kekerasan berkedok agama. Tapi tentu saja saya bersikap moderat di sana, dalam artian tidak terlalu mentah mengungkapkan argumen radikal dengan dalil-dalil yang tidak saya ketahui secara pasti.

Selepas diskusi itu saya menemui sang guru, Mrs. Balle. Kepadanya saya tanyakan mengapa Amerika membantu Israel atas apa yang dilakukan negara tersebut atas Palestina (karena tentunya konflik ini terjadi sudah sejak lama, 1948). Beliau hanya menjawab: “Karena Israel ingin mendirikan demokrasi di sana.”

“Demokrasi macam apa,” kata saya, “yang membunuh semua orang termasuk rakyat sipil?”

Dan beliau tidak menjawab.

Kala itu saya jadi ragu atas makna demokrasi. Apakah itu semacam sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat pada puncak tertinggi kekuasaan? Jika begitu, maka artinya adalah kebebasan berpikir dan bertindak. Tapi kita juga tak bisa memungkiri, di Perancis, demokrasi dimulai dari jebolnya sebuah penjara dan pemancungan seorang raja. Maka itu demokrasi adalah sebentuk pengerahan massa dalam jumlah yang mengerikan, yang mengatasnamakan kebebasan.

Tapi baiklah, diskusi itu terjadi pada musim dingin tahun 2007 silam. Di akhir Desember tahun lalu, Israel melakukan agresinya lagi atas Palestina. Di situ kita tahu bahwa konflik yang dibangun sejak dulu terus saja berkelanjutan, sementara kita masih bertanya-tanya tentang demokrasi dan kebebasan.

Saya pikir bukan dua hal itu yang memicu konflik dua bangsa (saya sebut bangsa karena sampai sekarang, dunia tidak mengakui adanya “negara Palestina”) tersebut. Barangkali sebuah identitas, atau agama, yang mendorong peluru dan roket berhamburan. Sebab kita tahu bahwa agama, selain sebuah identitas, adalah juga alasan bagi seseorang untuk tetap hidup, terlebih lagi, untuk mati.

Dan pasti, sesuatu yang sangat fundamental dalam hidup kita, dapat mempengaruhi pandangan dalam menyikapi kenyataan. Saya berbicara tentang iman, yang kemudian kita kerucutkan lagi sebagai agama. Sebagai seorang muslim, tentu saja (dan pasti) ada perasaan sedih dan marah atas agresi Israel. Namun bagaimana dengan orang lain yang tidak seiman dengan saya? Itulah, maka kita tentu punya dua hal yang lebih besar: kemanusiaan dan moralitas.

Sebab adakah kemanusiaan dan moralitas di jalur Gaza?

Di televisi saya melihat seorang lelaki mengambil sebentuk boneka beruang yang berdebu dari reruntuhan rumahnya. Kemudian ia mencoba tegar bercerita pada reporter: “Saya lihat moncong tank itu mengarah ke pintu rumah kami. Kami berempat, saya, Ibu, dan dua anak saya, segera melambaikan bendera putih. Tank itu berhenti, seorang tentara kemudian keluar dari dalamnya dengan membawa senapan mesin. Ia memberondong Ibu dan kedua anak saya....”.

Ia mencoba tegar tanpa tangis. Tapi dari matanya yang asing dan pilu kita mencoba menangkap sesuatu di sana, bahwa perang ini bukan sekedar antara Hamas dengan Israel, namun juga rakyat sipil. Artinya: genosida. Artinya, seorang imam, karyawan toko sepatu, seorang tukang pangkas rambut, mungkin balita, harus dibunuh, karena mereka orang Palestina.

Dan siapakah kita, anak-anak belasan tahun berseragam putih abu-abu yang tiba-tiba menonton berita itu, kemudian mendesah miris, trenyuh: “Ah, kasihan!” atau “Sadis!” atau “Ya Tuhan....”? Lalu kita mengadakan penggalangan dana, mengirimkan bantuan pangan dan obat-obatan, di pesantren-pesantren diadakan mujahadah akbar, dan di tiap sholat di masjid atau surau kita mendengar imam membacakan qunut nazilah. Terlepas dari soal truk-truk suplai yang dihadang masuk ke jalur Gaza, toh hal-hal itu tetap menunjukkan kepedulian kita. Sebab meminjam sebaris sajak Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Tapi benarkah itu akan merubah situasi, membebaskan apa yang kita yakini benar kemudian menghukum yang salah? Sementara kita tahu, PBB tak punya taring lagi.

Kini perang mereda: Israel memproklamirkan gencatan senjata secara sepihak dan Hamas menuntut mereka keluar dari Gaza. Namun siapa yang berani menjamin bahwa konflik tak akan berlanjut lagi? Saya tak tahu jawabnya. Tapi mungkin jika seribu bom berjatuhan di negeri 220 juta jiwa ini, barulah kita akan benar-benar “peduli”.

2 komentar:

Titis Andari mengatakan...

buku itu bagus sekali kok Fa. tipikal GM, left you smirkingly questioning in the end. aku juga dapetnya yang bahasa inggris. translasinya bagus kok, tetap utuh, she's a writer as well, so no doubt.

ahmad shilahuddin mengatakan...

ahh, kau tahu teman! adakah rasa dimana hati kita berkata "masih banyak yang harus kulakukan,manapula aku harus mengurusi masalah orang lain!" jika anda memiliki perasaan seperti itu,janganlah takut! sama sekali janganlah takut! karena lebih dari berjuta-juta teman yang lain di seluruh pelosok dunia juga mempunyai perasaan yang sama seperti anda! anda punya sahabat yang banyak dalam masalah ini.termasuk...(sst! jangan bilang siapa2 yha!) termasuk juga si raja saudi itu yang padahal dari pakaiannya...kita bisa melihat ADUHAI ISLAM BUKAN BUATAN!!!

sekedar celoteh,,