CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 21 Februari 2009

mrs.smith dan perpustakaan madrasah

Siang hari, 31 Januari 2009

Saya pergi ke perpustakaan Madrasah, menemani Mas B.U. yang ingin mencari beberapa referensi. Tapi sampai di sana saya lihat pintu perpustakaan tertutup. Saya tetap membuka pintu itu. Di dalamnya, di ruang kerja perpustakaan yang bersofa itu, seorang staff madrasah tiduran. Salah satu kakinya ditumpangkan ke kursi yang lebih tinggi. Merasa tidurnya terganggu, ia menghardik: “Perpustakaan udah tutup, besok aja datang kesini!”

“Sudah tutup, Pak?” tanya saya.

“Ya, sudah jam satu!” Padahal saya tahu jam satu tepat kurang lima belas menit lagi.

“Mmm, bukan begitu Pak,” jelas saya bernegosiasi. “Masalahnya….”

“Ah, ga’ ada masalah-masalahan! Kalau mau besok aja kesini!” ia memotong kata-kata saya. Dan siapa yang tak naik pitam ketika tiba-tiba kata-katanya dipotong? Saya pun menutup pintu itu dari luar.

Sambil setengah membentak, saya melantangkan suara: “Masalahnya siswa-siswi hanya sedikit mendapatkan waktu ke perpus! Dan Madrasah ga’ mau peduli!”

Saya pulang dengan perasaan ingin meninju seseorang.

***

Nampaknya, kita perlu istighfar yang banyak, biar lebih sabar kalau ada masalah. Tapi sebelum meninju seseorang, kita mesti menanak kesabaran itu hingga matang jadi amarah. Seseorang pernah berkata, Aristoteles namanya, bahwa “marah itu gampang, siapa saja bisa marah. Tapi kalau marah dengan kadar yang tepat, situasi yang tepat, dan pada orang yang tepat, itulah yang susah”. Barangkali saya memang tak sebijak Aristoteles, namun setidaknya beberapa alasan telah menguatkan saya untuk marah.

Mungkin ini maklum, bahwa perpustakaan terletak di tempat yang berbeda dengan kantor Madrasah yang lainnya: kantor Pak Kepala, ruang BK, atau ruang TU. Dan inilah masalahnya. Jam aktif perpustakaan adalah pukul tujuh pagi hingga jam satu siang. Artinya siswa-siswi hanya dapat mengakses literari atau referensi dari Madrasah satu jam tiap harinya, setengah jam pada istirahat pertama, dan setengah jam lain pada istirahat kedua. Sementara tujuan kita ketika istirahat tentu bukan hanya ke perpustakaan.

Maka itu, ada juga beberapa guru yang tidak setuju akan “pemindahan letak” perpustakaan tersebut.

Saya lihat orang itu tiduran di sofa, dan saya mencoba membandingkannya dengan Mrs. Smith, seorang staff perpustakaan di sekolah saya yang dulu, Eastwood High. Orangnya agak tambun, berambut pirang dengan kaca mata merah yang lucu nangkring di atas hidungnya, serta senyumnya yang ramah. Beliau selalu mempersilakan siswa-siswi untuk berkunjung ke perpustakaan kapan pun, tentu saja dengan izin guru yang bersangkutan.

Pernah suatu kali saya meminjam buku yang kebetulan tak ada di perpustakaan sekolah. Tapi
Mrs. Smith membantu sambil mebuka-buka daftar buku perpustakaan terdekat yang mungkin mempunyai buku tersebut. Beliau kemudian menemukannya, dan meminta saya datang ke perpustakaan Pemberville yang jaraknya 5 km saja dari sekolah. Dan beliau tak pernah tidur di perpustakaan.

Mungkin baginya, menjadi seorang staff perpustakaan adalah menjadi dirinya sendiri: ia tak perlu memaksakan diri untuk menyukai pekerjaan tersebut, sebab ia memang benar menyukai pekerjaannya. Barangkali kita butuh orang macam Mrs. Smith, yang mencintai buku dan mencintai orang-orang yang mencintai buku.

Akhirnya, jika tulisan ini akan menjadi polemik dan diskusi ringan, atau bahkan sindiran tidak sedap kepada saya, maka terima kasih sekali.

jika

jika kaucium bau hujan
yakinlah bahwa
kemarau tak selamanya lara
sebab di muram mendung dan gerimis itu
genderang rindu ditabuh bertalu-talu

jika kaucium bau hujan
maka pada hari ketiga belas
aku akan datang
akan kukecup tiap jengkal tubuhmu
lewat birahi yang mendam di musim lalu

//krapyak, februari 09

bahasa

dari abjad yang tak tersusun
bisakah kau rangkai bahasa?
sementara bening matamu
begitu jujur menangkap makna

maka kaunistakan puisi, sajak-sajakku
hanya sampah kosakata
kita hanya akan bicara mesra
tentang bbm yang turun harga

sebab dari bahasa kehidupan
kaucipta makna puisi paling dalam

sebab barangkali, mencintai
adalah mengerti bahasa matamu
yang melulu sembunyi
di balik senyum dan tawa itu

//krapyak, februari 09

Minggu, 01 Februari 2009

yang benar dan yang salah

Di kelas American Government, kami mendapatkan tugas diskusi kelompok. Bersama Matt, Nick, dan Torie, saya membahas subtema yang berjudul “Apa yang membuat sebagian pemeluk Islam menjadi teroris?”. Dalam diskusi yang singkat itu, sebagai satu-satunya Muslim, saya mencoba memberi sedikit pandangan dari kaca mata Islam, bahwa apa yang disebut jihad adalah sebuah perlawanan yang bersifat defensif. Dan “teroris” adalah orang-orang yang hanya mengambil sisi-sisi kekerasan berkedok agama. Tapi tentu saja saya bersikap moderat di sana, dalam artian tidak terlalu mentah mengungkapkan argumen radikal dengan dalil-dalil yang tidak saya ketahui secara pasti.

Selepas diskusi itu saya menemui sang guru, Mrs. Balle. Kepadanya saya tanyakan mengapa Amerika membantu Israel atas apa yang dilakukan negara tersebut atas Palestina (karena tentunya konflik ini terjadi sudah sejak lama, 1948). Beliau hanya menjawab: “Karena Israel ingin mendirikan demokrasi di sana.”

“Demokrasi macam apa,” kata saya, “yang membunuh semua orang termasuk rakyat sipil?”

Dan beliau tidak menjawab.

Kala itu saya jadi ragu atas makna demokrasi. Apakah itu semacam sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat pada puncak tertinggi kekuasaan? Jika begitu, maka artinya adalah kebebasan berpikir dan bertindak. Tapi kita juga tak bisa memungkiri, di Perancis, demokrasi dimulai dari jebolnya sebuah penjara dan pemancungan seorang raja. Maka itu demokrasi adalah sebentuk pengerahan massa dalam jumlah yang mengerikan, yang mengatasnamakan kebebasan.

Tapi baiklah, diskusi itu terjadi pada musim dingin tahun 2007 silam. Di akhir Desember tahun lalu, Israel melakukan agresinya lagi atas Palestina. Di situ kita tahu bahwa konflik yang dibangun sejak dulu terus saja berkelanjutan, sementara kita masih bertanya-tanya tentang demokrasi dan kebebasan.

Saya pikir bukan dua hal itu yang memicu konflik dua bangsa (saya sebut bangsa karena sampai sekarang, dunia tidak mengakui adanya “negara Palestina”) tersebut. Barangkali sebuah identitas, atau agama, yang mendorong peluru dan roket berhamburan. Sebab kita tahu bahwa agama, selain sebuah identitas, adalah juga alasan bagi seseorang untuk tetap hidup, terlebih lagi, untuk mati.

Dan pasti, sesuatu yang sangat fundamental dalam hidup kita, dapat mempengaruhi pandangan dalam menyikapi kenyataan. Saya berbicara tentang iman, yang kemudian kita kerucutkan lagi sebagai agama. Sebagai seorang muslim, tentu saja (dan pasti) ada perasaan sedih dan marah atas agresi Israel. Namun bagaimana dengan orang lain yang tidak seiman dengan saya? Itulah, maka kita tentu punya dua hal yang lebih besar: kemanusiaan dan moralitas.

Sebab adakah kemanusiaan dan moralitas di jalur Gaza?

Di televisi saya melihat seorang lelaki mengambil sebentuk boneka beruang yang berdebu dari reruntuhan rumahnya. Kemudian ia mencoba tegar bercerita pada reporter: “Saya lihat moncong tank itu mengarah ke pintu rumah kami. Kami berempat, saya, Ibu, dan dua anak saya, segera melambaikan bendera putih. Tank itu berhenti, seorang tentara kemudian keluar dari dalamnya dengan membawa senapan mesin. Ia memberondong Ibu dan kedua anak saya....”.

Ia mencoba tegar tanpa tangis. Tapi dari matanya yang asing dan pilu kita mencoba menangkap sesuatu di sana, bahwa perang ini bukan sekedar antara Hamas dengan Israel, namun juga rakyat sipil. Artinya: genosida. Artinya, seorang imam, karyawan toko sepatu, seorang tukang pangkas rambut, mungkin balita, harus dibunuh, karena mereka orang Palestina.

Dan siapakah kita, anak-anak belasan tahun berseragam putih abu-abu yang tiba-tiba menonton berita itu, kemudian mendesah miris, trenyuh: “Ah, kasihan!” atau “Sadis!” atau “Ya Tuhan....”? Lalu kita mengadakan penggalangan dana, mengirimkan bantuan pangan dan obat-obatan, di pesantren-pesantren diadakan mujahadah akbar, dan di tiap sholat di masjid atau surau kita mendengar imam membacakan qunut nazilah. Terlepas dari soal truk-truk suplai yang dihadang masuk ke jalur Gaza, toh hal-hal itu tetap menunjukkan kepedulian kita. Sebab meminjam sebaris sajak Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Tapi benarkah itu akan merubah situasi, membebaskan apa yang kita yakini benar kemudian menghukum yang salah? Sementara kita tahu, PBB tak punya taring lagi.

Kini perang mereda: Israel memproklamirkan gencatan senjata secara sepihak dan Hamas menuntut mereka keluar dari Gaza. Namun siapa yang berani menjamin bahwa konflik tak akan berlanjut lagi? Saya tak tahu jawabnya. Tapi mungkin jika seribu bom berjatuhan di negeri 220 juta jiwa ini, barulah kita akan benar-benar “peduli”.